RSS

Halamannn

PEREMPUAN :Meneladani Kemandirian Khadijah

18 Februari 2009

Ketika melihat kenyataan bahwa perempuan sampai sekarang ini masih dililit berbagai penderitaan, seperti kemiskinan, objek kekerasan bagi kaum laki-laki, dan sulitnya mengakses ruang publik, batin penulis kian resah.Tengok saja, kemiskinan perempuan dalam kesempatan mengakses pendidikan, kesehatan, maupun perekonomian masih lemah.

Keadaan itu membuat perempuan sangat tergantung kepada pihak yang memiliki akses dan kekayaan, serta tak bisa memutus mata rantai kekerasan yang menimpa dirinya.

UNTUK menuntaskan problem klasik perempuan itu, kata kuncinya adalah kemandirian ekonomi perempuan. Dalam bahasa sederhana, perempuan harus memiliki usaha yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Kemandirian di bidang lain, seperti politik, budaya, iptek, dan agama tentu makin menguatkan posisi perempuan dalam terpaan problem kehidupan.

Siti Khadijah adalah salah satu teladan yang luar biasa bagi kita. Ia perempuan kaya yang mengelola sendiri perusahaannya. Dengan kemandirian ekonominya, ia menjadi pribadi perempuan yang dapat lebih bebas mendukung syiar Nabi Muhammad SAW.

Di zaman sekarang, potret Khadijah sebenarnya dapat ditemui di sekitar kita, tetapi jumlahnya sangat kecil. Kebanyakan masuk pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan sektor informal.

Sektor UMKM di Indonesia mencapai 99 persen dari seluruh usaha di Indonesia. Dari jumlah itu, 35 persen diantaranya digerakkan oleh perempuan. Ya, merekalah Khadijah di zaman sekarang.

Di tingkat desa dan kota, sudah banyak potret perempuan mandiri. Mereka biasanya memiliki usaha kecil seperti berdagang, memiliki toko kelontong, dan sebagainya. Demi solidaritas antarperempuan dan niat membesarkan usahanya, mereka biasanya membentuk perkumpulan atau organisasi.

Misalnya, mendirikan koperasi simpan pinjam, menggelar arisan dan pengajian, bertukar informasi usaha, menyuplai kebutuhan para anggota (terutama ketika ada hajatan), curhat masalah hambatan usaha, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya.

Faktor Penghalang

Untuk menjadi mandiri secara ekonomi, memang banyak faktor yang menghalangi.

Faktor budaya selama ini melihat kemandirian ekonomi perempuan sebagai hal yang tidak menguntungkan laki-laki. Dengan pemahaman lain, jika perempuan mandiri, mereka bisa ’’membangkang’’ terhadap suami.

Tentu saja alasan ini tak benar. Apakah Khadijah pernah membangkang Nabi dengan kekayaannya? Tidak! Ia menjadi pendonor dan pelindung Rasulullah, ketika semua orang menentangnya. Ia juga yang pertama meyakini ajaran Nabi Muhammad.

Justru kemandirian ekonomi perempuan bisa membuat siklus kebutuhan (pendapatan dan pengeluaran) rumah tanga tidak terlalu terganggu, jika salah satu sumber pendapatan terputus. Misalnya suami terkena PHK atau usahanya gulung tikar, dan terutama kalau suaminya kelak meninggal.

Faktor penghambat yang lain adalah rumitnya administrasi pengurusan izin usaha, sulitnya memeroleh akses permodalan, minimnya management skills, akses pasar terbatas, tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan lain-lain. Sebagian dari problem itu kini sudah mulai diatasi baik oleh pemerintah maupun LSM.

Allah mendorong agar laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kemandirian dan pendapatan. Dengan pendapatan yang dimiliki, seseorang bisa beramal. Karena amal yang dikeluarkan suami akan dicatat sebagai amal suami, bukan amalnya sang istri. Begitu juga sebaliknya.

Tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik, dengan melakukan kerja-kerja postitif, adalah kewajiban suami-istri, seperti disampaikan dalam QS An Nahl ayat 97.

Dalam QS An-Nisa: 21, Allah juga menyeru: ’’Bagaimana kamu (tega) mengambilnya (harta istri dari mahar) padahal di antara kamu sudah berhubungan intim, dan mereka (istri-istri) telah menerimanya (mahar) dari kamu sekalian melalui perjanjian (pernikahan) yang kokoh’’.

Ayo, tunggu apa lagi! Kini saatnya perempuan modern harus mandiri seperti Khadijah. (Mar’atul Uliyah, Manager Program Islam dan Gender LKiS-32)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: