RSS

Halamannn

OPINI: Kuota 30 %: Peluang dan Tantangan Bagi Perempuan dan Partai Politik

Pemilu Legislatif yang akan dilaksanakan pada bulan April 2009 tinggal menghitung hari. Salah satu wacana yang banyak dikupas oleh berbagai media adalah mengenai persoalan pemberlakuan kuota 30 % keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Upaya penegasan kembali kuota keterwakilan perempuan melalui reformulasi sistem kuota dalam regulasi Pemilu 2009 ditandai dengan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Regulasi tersebut secara kualitas lebih memberi jaminan terhadap peningkatan jumlah perempuan dalam keterwakilan perempuan di parlemen. Secara eksplisit, UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, pada pasal 55 ayat (2) juga dinyatakan bahwa di dalam daftar bakal calon dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Hal ini memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perempuan dan partai politik untuk ikut mendukung upaya peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik dapat terwujud.
Kota Surakarta yang 53,1 % penduduknya adalah perempuan atau sebanyak 283.672 orang dari total penduduk Kota Surakarta sebanyak 534.540 orang dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) 88,44 (Jateng dalam Angka: 2006), merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki kesenjangan gender yang masih cukup tinggi. Pada tahun 2005 Indeks Pembangunan Gender Kota Surakarta adalah sebesar 71, 9 dan Indeks Pemberdayaan Gender sebesar 56,4 (www.menegpp.go.id). Indeks Pemberdayaan Gender tahun 2005 menunjukkan bahwa pada indikator tingkat partisipasi perempuan di parlemen, kesenjangan gender di Kota Surakarta, khususnya di bidang politik masih tinggi dengan presentase perempuan di parlemen pada periode Pemilu 2004 sebesar 5,0 %. Secara umum, perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Surakarta mengalami fluktuasi dari periode ke periode dengan rata-rata 8,5 %. Persentase tertinggi jumlah keterwakilan perempuan di DPRD terjadi pada tahun 1997 yaitu 15,6 % atau sebanyak 7 orang dari 45 orang anggota DPRD. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,2 % atau 1 orang dari 45 orang anggota DPR
Pada Pemilu tahun 2004, rendahnya partisipasi politik perempuan sebagai anggota legislatif di DPRD disebabkan oleh kurangnya dukungan partai politik dalam mengimplementasikan kebijakan afirmatif yang ditetapkan melalui UU No. 12 Tahun 2003. Berdasarkan laporan KPUD Kota Surakarta, hasil Pemilu tahun 2004 memperlihatkan jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kota Surakarta masih sangat rendah yaitu 2 orang atau sekitar 5 % dari jumlah keseluruhan anggota DPRD sebanyak 40 orang.
Pada Pemilu 2009 mendatang, melalui ketentuan kuota 30 % keterwakilan perempuan yang diitegaskan dalam UU N0 10 Tahun 2008, jumlah keterwakilan perempuan di DPRD Kota Surakarta diharapkan akan meningkat. Namun demikian, realitas menunjukkan bahwa tidak semua parpol dapat memenuhi ketentuan tersebut. Berdasarkan data KPUD Kota Surakarta, terdapat 33 partai politik yang akan berkompetisi di Pemilu 2009 dengan jumlah caleg sebanyak 541 orang yaitu 349 orang laki-laki dan 192 orang perempuan. Rata-rata jumlah caleg laki-laki cenderung lebih banyak (64, 51%) daripada jumlah caleg perempuan. (35, 49%). Dari 33 partai politik, terdapat 12 partai yang tidak memenuhi kuota 30 % keterwakilan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa partai politik yang belum memenuhi aturan sebagaimana yang diamanatkan UU. Hal ini pada dasarnya disebabkan oleh banyak faktor baik internal maupun eksternal dari partai politik yang bersangkutan.
Kurangnya ketersediaan kader perempuan menjadi salah satu faktor, minimnya caleg perempuan yang diusulkan. Bagi sejumlah partai lama dan telah memiliki basis massa yang cukup besar, permasalahan minimnya kader perempuan mungkin tidak menjadi persoalan. Namun, hal ini sangat berbeda bagi partai-partai yang masih tergolong partai baru dan belum memiliki basis massa yang besar.
Masih berkembangnya ideologi gender yang disosialisasikan oleh budaya, agama, maupun negara menyebabkan adanya marginalisasi, subordonasi dan stereotipe terhadap perempuan yang ingin berkarir di dunia politik. Nilai-nilai budaya masyarakat yang menempatkan perempuan lebih dominan pada peran domestik, sementara laki-laki lebih dominan pada peran publik, menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan untuk berpartisipasi di lembaga legislatif. Hambatan psikologis individu seperti kurangnya kesadaran dan kepercayaan diri perempuan untuk terlibat di bidang politik dan juga rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan perempuan di lembaga legislatif juga menjadi faktor rendahnya partisipasi perempuan terjun di dunia politik.
Oleh karena itu, peran partai politik dalam mengimplementasikan pemberlakuan ketentuan kuota 30 % dalam sistem pencalegan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung peran dan partisipasi politik perempuan di lembaga legislatif sehingga dapat memperkuat daya tawar (bargaining position) perempuan dalam pembuatan kebijakan publik. Hal ini sesuai dengan peran dan fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan dan rekrutmen politik maupun pengusulan calon (proposing candidat) di lembaga legislatif. Selain itu, partai politik perlu mengembangkan program-program pelatihan dan pendidikan politik yang memadai untuk meningkatkan kualitas dan kapabilitas berpolitik para calon anggota legislatif, khususnya perempuan sehingga lebih percaya diri. Partai politik juga perlu membangun jaringan kerja (net working) yang komunikatif dengan institusi politik baik pemerintah, masyarakat, pers atau media dan mensosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan di bidang legislatif agar dapat memperjuangkan aspirasi mereka demi mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan. Harapan kita ke depan adalah bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

Oleh: Rosita Novi Andari (Mahasiswa Publik Andministrasi, UNS, studi kebijakan publik dan gender)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: