RSS

Halamannn

WACANA: Mencoba Kebijakan Afirmatif ala Jerman

Suara Merdeka, 23 Februari 2009

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) akhir 2008 dinilai bakal menurunkan secara signifikan keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan kita. Alasannya adalah karena keputusan lembaga tinggi negara itu menegasikan ketentuan Pasal 214 Undang-undang (UU) No 10/2008 berkaitan dengan penetapan calon terpilih anggota legislatif yang didasarkan pada urutan nomor.
MK berkeyakinan pasal tersebut tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, calon yang mendapat suara terbanyaklah yang berhak duduk di lembaga legislatif. Dengan demikian, tujuan dalam pasal 55 ayat 2 UU itu tidak berguna lagi. Upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dengan cara menempatkan paling sedikit satu calon perempuan dari setiap tiga orang caleg, sangat sulit direalisasikan. Keputusan MK itu dianggap akan mempersulit pemenuhan kuota 30% perempuan di legislatif.

Walaupun MK menegasikan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tampaknya berencana tetap memperjuangkan keterwakilan perempuan dengan cara memberikan keistimewaan (lewat kebijakan afirmatif) dalam Pemilu 2009. Direncanakan, jika sebuah parpol di sebuah daerah pemilihan (dapil) berhasil merebut tiga kursi dan kebetulan ketiga-tiganya laki-laki calon legislatif (caleg), maka kursi ketiga harus diberikan kepada perempuan caleg berpendukung tertinggi.

Rencana KPU itu pun menimbulkan kritik. Tidaklah layak KPU sebagai pelaksana undang-undang malah membuat undang-undang baru. Rencana kebijakan afirmatif KPU itu kemungkinan besar akan menimbulkan konflik internal parpol. Sulit dipahami jika caleg ketiga terpilih (kebetulan laki-laki) harus menyerahkan kursinya kepada perempuan caleg yang sesungguhnya tidak memenuhi kuota suara minimum.

Kontroversi antara keputusan MK yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak di satu pihak serta keinginan meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan di lain pihak, mendorong penulis memberikan sebuah saran penyelesaian.
Sistem Distrik
Dalam literatur ilmu politik, sistem pemilihan anggota parlemen jika disederhanakan ada tiga macam, yakni sistem distrik, sistem proporsional, dan campuran. Masing-masing sistem ini mempunyai variasi.

Sistem pemilu dan penetapan caleg terpilih dalam Pemilu 2009 seperti direkomendasikan MK, masuk dalam kategori sistem distrik dengan varian tertentu. Di sini wilayah nasional dibagi menjadi sekian distrik/dapil.

Masing-masing dapil memperebutkan sejumlah kursi legislatif. Para pemilih menjatuhkan pilihannya hanya kepada salah satu dari sekian calon. Para calon yang terpilih menjadi anggota legislatif adalah mereka yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak pada urutan sekian teratas, sesuai dengan kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan tersebut.

Adapun calon lain, yang perolehan suaranya lebih rendah, otomatis tidak terpilih. Misalnya, di dapil X diperebutkan tiga kurs, maka mereka yang terpilih adalah tiga caleg yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak.

Keunggulan sistem ini, antara lain, mereka yang berpendukung terbanyak adalah yang terpilih. Dalam kaitan dengan penetapan caleg terpilih di Indonesia, keputusan MK sejalan dengan argumen ini.

Menurut MK, argumen ini searah dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu, keunggulan sistem ini, pemilih bisa memilih langsung caleg yang dianggap terbaik. Lagipula, sistem ini mendekatkan hubungan antara caleg dengan konstituen. Pola ini mendorong sistem kepartaian yang sederhana.

Kelemahan sistem ini, antara lain, adalah kesulitan para caleg yang kurang mendapat dukungan cukup banyak untuk melenggang ke gedung parlemen. Hanya caleg dari partai-partai besar dan mempunyai pendukung besar yang bisa menang. Untuk Indonesia, penggunaan sistem ini tentu akan mempersulit upaya meningkatkan keterwakilan kaum perempuan dalam parlemen.

Berkecimpungnya kaum perempuan Indonesia di arena politik belum begitu lama, mendalam, dan meluas. Konsekuensinya, pada waktu mereka mendaftar sebagai caleg, mereka tidak begitu dikenal dan nantinya tidak banyak dipilih.
Kebijakan afirmatif yang direncanakan KPU tentu tidak sejalan dengan sistem distrik. Selain itu, kelemahan sistem distrik yang lain adalah tidak ada keseimbangan jumlah suara dukungan bagi masing-masing caleg terpilih. Ada caleg terpilih dengan suara begitu banyak, akan tetapi ada pula caleg terpilih dengan suara cukupan saja. Lebih lanjut, perolehan suara dukungan dalam pemilu kadang tidak seimbang dengan perolehan kursi di lembaga perwakilan.
Sistem Proporsional
Seperti halnya sistem distrik, sistem proporsional juga bervariasi. Pada masa Orde Baru, kita menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup. Dalam sistem ini, pimpinan partai membuat daftar para caleg dan menentukan rangking.

Karena menganut sistem daftar tertutup, pemilih menjatuhkan pilihan pada partai, baik itu untuk aras nasional, provinsi ataupun kabupaten/kota. Jumlah kursi yang diperoleh partai didasarkan pada suara sah yang diperoleh di suatu dapil dibagi total suara sah dikalikan jumlah kursi yang diperebutkan. Caleg terpilih biasanya mereka yang berada di rangking atas.

Keunggulan sistem ini adalah tingginya tingkat proporsionalitas. Kursi yang diperoleh di parlemen seimbang dengan suara yang diperoleh dalam pemilu. Dalam kaitannya dengan upaya mendongkrak jumlah kaum perempuan duduk di lembaga legislatif, sistem ini dianggap lebih menjanjikan.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, setiap partai berkewajiban mengajukan satu perempuan caleg dari setiap tiga caleg yang diajukan. Dengan cara seperti ini, jumlah kaum perempuan yang duduk di legislatif bisa mendekati angka 30%.

Selain itu, keunggulan sistem ini adalah adanya jumlah suara yang sama yang diperlukan bagi setiap caleg agar terpilih. Keunggulan lain sistem ini, suatu daerah pemilihan tidak cepat mengalami perubahan wilayah cakupannya.

Kelemahannya adalah ketidakmungkinan seorang pemilih memilih caleg idamannya. Juga hubungan caleg / anggota legislatif dengan konstituennya tidak dekat. Jumlah partai cenderung banyak pula.
Sistem Campuran
Sistem distrik memang memiliki kekuatan, yakni mampu merekrut calon berkualitas. Namun ia memiliki kelemahan pula, yaitu tidak bisa dipakai sebagai sarana pendongkrak jumlah kaum perempun di kursi legislatif yang baru nanti. Karena itu, untuk memungkinkan kenaikan keterwakilan kaum perempuan, sistem Pemilu 2014 perlu diubah.

Caranya dengan mencampur/menggabungkan sistem distrik dan sistem proporsional. Kelemahan sistem distrik bisa dikurangi dengan menggunakan sistim proporsional. Dengan sistem proporsional, parpol berkewajiban menempatkan satu perempuan caleg dalam setiap tiga caleg yang diajukan, sehingga jumlah mereka di parlemen meningkat.

Sistem campuran ini digunakan kali pertama oleh Jerman Barat (kemudian dilanjutkan Jerman) untuk memilih anggota Bundestag atau lembaga legislatif, dan semakin banyak diikuti negara lain seperti Rusia, Italia, Hongaria, Jepang, dan Selandia Baru (Dalton 2002: 233).

Di Jerman, anggota parlemen direkrut melalui dua cara sekaligus. Separo direkrut dengan sistem distrik dan separuh lagi direkrut dengan sistem proporsional. Setiap pemilih memiliki dua kartu suara: satu kartu dipakai untuk memilih caleg yang maju berdasar sistem distrik, sedangkan kartu lain digunakan untuk memilih partai favorit.

Jika sistem campuran ini digunakan di Indonesia akan memungkinkan perekrutan anggota legislatif yang berkualitas, peningkatan jumlah kaum perempuan di parlemen, pengurangan suara yang hilang, paling sedikit sebagian caleg/ anggota legislatif mau berhubungan dekat dengan konstituen. Memang sistem ini lebih mahal dan ruwet. Akan tetapi demi kepentingan bersama, mengapa tidak dicoba saja? (35)

— Tri Cahyo Utomo, dosen Magister Ilmu Politik Undip

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: