RSS

Halamannn

Vie's Movie: Emak Ingin Naik Haji: Sekeping Cermin Cinta Tempat Kita Berkaca




Oleh Meicky Shoreamanis Panggabean*

Dunia adalah sebuah universitas megah tempat manusia bisa belajar mengenai hidup dari semua hal yang ada di dalamnya.
Kita bisa belajar tentang ketekunan dari semut…
Keset kaki bisa memberi kita imaji keji sebuah penindasan…
Debu di kolong tempat tidur bisa bicara banyak tentang kefanaan hidup…
Sangkar burung bisa melayangkan pikiran kita kepada ide tentang kebebasan…
Pohon…Ibu…Tetangga…Kipas angin…Beruang…Gantungan kunci…Apapun itu…


Berangkat dari pemahaman bahwa segala hal di dunia menawarkan kesempatan tanpa batas untuk belajar, saya percaya bahwa pemeluk agama apapun pasti pulang dengan batin yang lebih kaya seusai menonton Emak Ingin Naik Haji. Film besutan sutradara Aditya Gumai ini diakhiri terburu-buru dengan sebuah adegan bernuansa Hollywood:Kejutan yang bisa ditebak bahkan sejak film baru saja menggelinding. Bagaimanapun, hal ini tak mampu menyurutkan apresiasi saya yang tertuang dalam secarik tulisan berikut.
***
Film yang diangkat dari cerpen Asma Nadia ini tak pelak lagi adalah sebuah karya yang memiliki cita rasa spiritualitas teramat lezat. Emak (dimainkan dengan cemerlang oleh Ati Kanser) yang miskin, jujur dan saleh menyimpan kerinduan teramat sangat untuk menyambangi Mekah. Impiannya kian membuncah setelah melihat majalah berisi gambar-gambar Ka’abah di rumah Haji Sa’un (Didi Petet), saudagar kapal tetangganya yang telah berumroh hingga enam kali. Bagaimanapun, kerinduan Emak yang begitu besar berbanding terbalik dengan penghasilannnya yang demikian kecil: Biaya naik haji yang mencapai tujuh digit tak pernah bisa digapai oleh tangan keriputnya yang hanya mampu membuat kue apem untuk memenuhi order kecil-kecilan dari para tetangga.

Dari rumah Emak yang kumuh dan bobrok inilah cerita mengalir lalu menguap dan menghasilkan tetes-tetes kebijaksanaan yang kejernihannya melintasi agama apapun. Dengan air mata di pipi dan kerongkongan tercekat, saya hampir semaput di kursi penonton saat Emak dengan pasrah dan lirih bertutur pada Zein (terima kasih kepada Reza Rahardian atas totalitasnya dalam berperan), putra terkasih yang sama miskinnya dengan dirinya,”Kalaupun Emak keburu meninggal sebelum sampai di Ka’abah, Emak ikhlas Zein…Tuhan tahu kok, hati Emak sudah lama ada di situ…”.

Kerinduan Emak yang tulus akan Ka’abah terlihat makin dalam karena dikontradiksikan secara ironis dengan keluarga Haji Sa’un yang pergi ke sana hanya karena rutinitas dan kelebihan uang. Adapun kemurnian hati Emak dalam beribadah ditampilkan bergantian dengan keculasan Pak Agus (Adenin Adlan), pengusaha besar yang mengincar gelar haji hanya untuk memuluskan jalannya menuju kursi wali kota.

Dalam tempo cepat, film ini menguliti motivasi naik haji yang berbeda dari tiap karakter. Namun sesungguhnyalah cerita yang berdurasi hampir 100 menit ini tidak hanya berkisah mengenai ibadah Islami semata-mata. Emak Ingin Naik Haji tak hanya bicara soal Mekah atau Masjidil Haram. Emak Ingin Naik Haji juga bicara tentang cinta…

Cintalah yang membuat Emak berjerih payah menyimpan uang seperak demi seperak demi membayar ongkos naik haji yang ketika itu biayanya mencapai 6 kali lipat dari jumlah tabungannya selama lima tahun.

Cintalah yang membuat Emak merelakan 5 juta rupiah, uang simpanannya untuk kelak pergi haji, digunakan untuk pengobatan si cucu. Cinta jugalah yang membuat perempuan renta ini rela memaafkan mantan menantunya yang materialistis di lobby rumah sakit, di bawah tatapan anak kesayangannya yang penuh dengan kebencian.

Cintalah yang membuat mata Zein kerap berkaca-kaca karena tak pernah bisa mewujudkan impian Emak terkasih. Cinta jugalah yang yang membuat Zein nekad merampok, dan cinta jugalah yang akhirnya membatalkan niatnya kendati ratusan lembar uang bernominal besar sudah di tangan.

Dengan indah, film ini mengupas keagungan cinta dalam berbagai dimensi:Cinta kepada Tuhan, ibu, anak, tetangga dan bahkan kepada mereka yang tidak begitu kita kenal. Dengan ramah, melalui film ini Islam menyodorkan cermin bagi pemeluk semua agama untuk berkaca.

Apakah kita merindukan Tuhan bagaikan orang yang hampir tenggelam menginginkan oksigen, seperti halnya Emak?
Apakah kita mencintai kebenaran, bagai seorang perempuan mengasihi pria belahan jiwanya, seperti Zein yang akhirnya membatalkan niat untuk merampok setelah matanya nanar memandangi Al Quran?
Apakah kita beribadah untuk menyenangkan hati Tuhan atau untuk memuaskan keinginan diri sendiri seperti halnya Pak Agus ?
Apakah kita pergi ke mesjid, wihara, gereja atau apapunlah namanya, hanya karena rutinitas seperti yang dilakukan keluarga Haji Sa’un ?

Resapi kemegahan rumah Haji Sa’un dan layangkan mata kita pada gubuk Emak. Apakah kita sibuk mempermegah gedung ibadah hingga kurang waktu untuk memperindah batin ? Lupa bahwa di belakan gedung ada lusinan warga yang tidak sanggup makan dan putus sekolah ?

Saya tak habis pikir mengapa film ini, yang isinya demikian bijak dan bernilai edukasi tinggi, tak mampu mengalihkan mata MUI dari ‘karya-maha-prahara-mala-petaka-penuh-kebetulan-program-buang-buang-uang-nan-tak-masuk-akal’ seperti 2012. Mungkin kita semua harus coba untuk mempelajari ketidaklogisan pemahaman MUI juga dengan cinta. Entahlah. (*Guru Sekolah Pelita Harapan, Lippo-Cikarang)

Kompas, Minggu, 27 Desember 2009 | 00:48 WIB


Jadi pengen nonton....ayuk..ayuk...ayuk...ikut..ikut... : )


Indahnya jika suatu hari aku bisa membawa ayah bundaku, keluarga tercintaku ke rumahNYA.

Percaya jika Allah berkehendak "Jadi" maka "jadilah"

Amin Ya Robbal'alamin..

Semangat berkarya pin dan jadilah "sesuatu" yang berharga di hadapanNYA. : )

"Vie"13 Januari 2010


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: