RSS

Halamannn

OPINI: Demokrasi dan Suara Belalang


Kompas, Senin, 11 Januari 2010 | 03:23 WIB

The question here, really, is what have we done to democracy? What have we turned it into? What happens once democracy has been used up? When it has been hollowed out and emptied of meaning?”

(Arundhati Roy, Listening to Grasshoppers, Field Notes on Democracy).

Di hampir pengujung akhir tahun 2009, Arundhati Roy menerbitkan buku yang merupakan kumpulan esainya tentang demokrasi. Judul bukunya, Listening to Grasshoppers, Field Notes on Democracy. Salah satu esai dalam buku itu yang berjudul sama dibawakan di Istanbul, 18 Januari 2008, untuk memperingati kematian Hrant Dink, jurnalis Armenia yang dibunuh di Istanbul, Januari 2007, karena mencoba mengungkap tragedi yang dialami orang-orang Kristen Armenia pada masa kekaisaran Ottoman tahun 1915.

Di bagian lain bukunya, Roy menggambarkan bagaimana perjuangan orang-orang Kashmir, tergambar lewat civil disobedience pada tahun 2008, memperoleh tekanan yang begitu berat dan sistematik. India berhadapan dengan Muslim Kashmir.

Dalam catatan Roy, demokrasi seperti kehabisan dayanya ketika berhadapan dengan fakta pluralitas masyarakat negara yang diformanya, lebih-lebih ketika demokrasi berhadapan dengan agama. Pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan kepala pemerintahan menjadi tolok ukur yang banal atas demokrasi. Demokrasi justru menjadi alat untuk mematikan suara rakyat (vox populi). Suara demokrasi justru menjadi suara kerumunan belalang yang menandakan akan adanya bencana. Persis ketika setelah ibunda Hrant Dink yang di tahun 1915 berusia 10 tahun mendengar suara kerumunan belalang di desanya, Dubne, tragedi pembantaian di Armenia itu terjadi. Maka, Roy bertanya dengan memetaforakan suara belalang dan bencana. Adakah kehidupan setelah democracy (yang bagi Roy telah menjadi demon-crazy)?

Kecemasan

Demokrasi memberikan harapan kepada masyarakat manusia yang terbentuk dalam sebuah negara karena pemerintahan negara dijamin dilakukan oleh rakyat. Makna rakyat yang pada zaman pencerahan kemudian diidealisasi sebagai individu yang memiliki otonomitas dan kedirian, atau manusia sebagai subyek, dikawal oleh hukum. Hukum menjamin warga negara berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Warga negara oleh demokrasi dan hukum dipandang sebagai subyek yang bermartabat.

Namun, cita dari demokrasi semacam itu yang tidak ditemukan oleh Roy dalam demokrasi riil. Demokrasi dengan hukum formalnya menjadi demokrasi performatif yang sekadar mementingkan penampilan fisik semata dalam pemilu yang seakan-akan ”jurdil” dan pers yang seolah-olah merdeka. Hukum yang memang pada dirinya berorientasi ketertiban menjadi alat untuk melegitimasi adanya demokrasi performatif.

Demokrasi dan hukum zaman pencerahan yang diadopsi oleh negara memiliki persoalan. Bagaimana meletakkan kemanusiaan (manusia sebagai subyek yang otonom) yang baru saja lahir berhadapan dengan negara? Trauma Revolusi Perancis membuat ruang publik sebagai domain keberadaan negara disterilkan dan dinetralkan dari agama (berikut religiositas yang ikut membentuk kemanusiaan kita). Dalam perjalanan waktu, negara melalui demokrasi dan hukum menyingkirkan kemanusiaan. Negara tidak dapat hidup berdampingan dengan kemanusiaan dalam ruang publik yang seharusnya dijaga oleh demokrasi dan hukum.

Apabila Roy menyaksikan negara India lewat demokrasi dan hukum yang diisi oleh nasionalisme Hindu dan developmentalism yang pro-pasar sehingga menyingkirkan kaum Muslim, Kristen, Sikh, dan Dalits, kita melihat bahwa di masa Orde Baru demokrasi Pancasila menyingkirkan orang-orang kiri, kaum penghayat, dan orang-orang kritis. Ironisnya, negara Orde Baru melakukan itu seperti seolah-olah menjawab tantangan pencerahan dengan menyakralkan ruang publik. Pancasila yang maknanya begitu dipersempit menjadi kanal untuk meletakkan kemanusiaan bersandingan dengan negara.

Harapan

Runtuhnya sosialisme sebagai ideologi negara, tragedi 11 September, serangan di Mumbai, dan—untuk kita—reformasi, sebenarnya menjadi momen-momen untuk kembali mempertemukan negara dan kemanusiaan dalam ruang publik yang dijaga oleh demokrasi dan hukum. Momen-momen itu juga sekaligus menandakan bahwa negara tidak lagi bisa dibayangkan sebagai sebuah entitas yang absolut. Negara oleh masyarakat manusia yang menjadi rahim kelahirannya ditantang untuk melihat manusia sebagai subyek yang menghidupinya dalam peristiwa sehari-hari yang begitu sederhana.

Skandal Bank Century yang terungkap, koin untuk Prita, dan banyak fenomena people power lainnya merupakan manifestasi gugatan terhadap kekuasaan absolut negara. Di sisi lain, kasus bunuh diri yang beberapa kali kita saksikan merupakan tanda bahwa ruang publik kita tidaklah semanusiawi yang kita bayangkan selama ini. Negara dengan mekanisme pasarnya telah begitu beringas mengonsumsi kemanusiaan kita sebagai subyek otonom yang dicita-citakan.

Lewat peristiwa dalam hidup keseharian kita, misalnya yang termanifestasi dalam jejaring sosial virtual yang kita miliki, negara diingatkan untuk kembali mendengarkan vox populi sebagai suara rakyat. Dalam suara rakyat terkandung suara kemanusiaan yang mencari jalannya untuk didengarkan. Seperti suara kerumunan belalang, suara rakyat ingin memberitahukan sesuatu kepada negara tentang kemanusiaan di ruang publik yang seharusnya dijaga oleh negara dengan demokrasi dan hukum.

Antonius Cahyadi Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Kandidat Doktor dalam Bidang Socio Legal Studies di Van Vollenhoven Institute, Faculteit der Rechtgeleerdheid, Universitas Leiden, Belanda

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: