Kompas, Selasa, 12 Januari 2010 | 02:50 WIB
Pertambunlah kabinet, Rabu. Ini ”peribahasa” baru yang diperkenalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rabu, 6 Januari, Presiden melantik tiga wakil menteri. Rabu, 11 November 2009, lima wakil menteri sudah dilantik terlebih dahulu.
Kabinet Indonesia Bersatu II sekarang beranggotakan 34 menteri, tujuh pejabat setingkat menteri, dan delapan wakil menteri. Alih-alih perampingan, Presiden melakukan penggemukan dibandingkan dengan kabinet sebelumnya yang ”hanya” terdiri atas 34 menteri, tujuh pejabat setingkat menteri, dan seorang wakil menteri. Kabinet saat ini adalah kabinet tergemuk dibandingkan dengan semua kabinet yang pernah bekerja selama era Reformasi.
Penggemukan kabinet adalah kecenderungan aneh di tengah usulan perampingan kabinet yang mengemuka seusai Pemilu Presiden 2009. Jika Presiden gagal menjelaskan urgensinya dan gagal membuktikan efektivitas manajemen pemerintahan, kita bisa menyimpulkan, sang kabinet terkena ”penyakit parkinson”.
Nama ”penyakit” itu diambil dari C Northcote Parkinson, sang pencipta ”Hukum Parkinson”. Parkinson menggambarkan kecenderungan yang umum terjadi dalam kerja organisasi atau birokrasi. Salah satunya yang terpokok adalah kecenderungan untuk memperbanyak orang yang terlibat di dalamnya, bukan lantaran kebutuhan fungsional, melainkan karena hasrat untuk melipatgandakan jumlah bawahan.
Hans-Dieter Ever dan Tilman Schiel (1990) lalu menggunakan terminologi ”parkinsonisasi” untuk menggambarkan kecenderungan buruk birokrasi mempertambun diri dengan tujuan politik. Hasil akhirnya adalah birokrasi yang kian menjauhi praktik kerja profesional, efisien, dan melayani. Ever dan Schiel menyebut era Orde Baru sebagai contoh proyek parkinsonisasi seperti itu.
Saya khawatir dengan proyek penggemukan, tanpa penjelasan publik yang memadai, yang sedang dilakukan Presiden saat ini, Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berpotensi terserang penyakit parkinson. Beberapa alasan masuk akal melatari kekhawatiran ini.
Patut dikhawatirkan, penggemukan kabinet ala Yudhoyono tidak dilakukan pertama-tama dan terutama atas nama kebutuhan efisiensi dan efektivitas kerja pemerintahan, melainkan lantaran kebutuhan akomodasi politik. Sejak awal Presiden menunjukkan hasrat sungguh besar untuk membuat partai politik merasa dirangkul masuk dalam pemerintahan sambil mempertahankan retorika tentang pentingnya pertimbangan profesionalisme dan kompetensi dalam perekrutan kabinet.
Hasilnya lumayan mengecewakan. Kabinet sangat menimbang akomodasi partai, tetapi sekaligus tak mampu memenuhi tuntutan akomodasi profesionalisme dan kompetensi. Mengingat ini termin kedua kepemimpinan Presiden, ini kekeliruan yang tak perlu. Saya khawatir pengangkatan wakil menteri dimaksudkan oleh Presiden sebagai upaya lebih mendengar tuntutan itu, tetapi dengan melakukan kekeliruan berikutnya.
Pengangkatan wakil menteri diniatkan sebagai upaya memperbaiki kekeliruan dalam perekrutan di awal pembentukan kabinet. Hasilnya adalah penggemukan kabinet dengan segenap komplikasinya. Sebuah kekeliruan melahirkan kekeliruan berikutnya.
Lebih lanjut, pertemuan antara dua kekeliruan yang berurutan itu memfasilitasi komplikasi cukup serius. Ada kesan sebagian besar dari wakil menteri itu diangkat untuk menutupi ketidakmampuan menterinya dalam menunaikan tugas profesional di kementeriannya. Jika tak dikelola dengan baik, beberapa kementerian akan terlanda stigma sebagai tempat kongsi menteri kurang kompeten dengan wakil menteri kompeten. Suka atau tidak, stigma berbahaya ini, dengan segenap kesalahpahaman di dalamnya, terfasilitasi oleh pengangkatan wakil menteri.
Sebagian besar dari wakil menteri yang diangkat bukan saja dikenal sebagai orang-orang yang kompeten di bidangnya, tetapi juga memiliki sejarah kedekatan hubungan kerja dengan kementerian yang menjadi arena tanggung jawabnya sekarang. Ketika sang menteri berjarak lebih jauh dengan kalangan birokrasi di dalam kementerian itu, lahirlah potensi masalah. Sang wakil menteri bisa ”lebih berkaki” dalam kementerian itu.
Komplikasi semacam itu bisa semakin serius manakala tidak ada klarifikasi memadai kepada publik mengenai alasan pengangkatan wakil menteri itu serta bagaimana pembagian tugas antara menteri dengan mereka. Dalam keadaan ini, mau tidak mau, satu-satunya jalan yang tersedia bagi setiap kementerian itu adalah melakukan pembuktian bahwa kehadiran dua pejabat tinggi negara itu memang berkorelasi dengan peningkatan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas kerja.
Jika pembuktian ini gagal dilakukan, sahihlah kesimpulan bahwa kehadiran wakil menteri itu sekadar menggemukkan kabinet. Sahih pula anggapan bahwa ia menandai kegagalan manajemen pemerintahan dan kebijakan. Dalam lima tahun ke depan, Presiden ditantang untuk membuktikan apakah kesimpulan dan anggapan ini keliru belaka.
0 komentar:
Posting Komentar