RSS

Halamannn

News: Berumah di Bumi yang Berubah


Kompas, Selasa, 12 Januari 2010 | 03:02 WIB

Ahmad Arif

Pemanasan global tak bisa ditawar lagi. Suhu bumi terus naik, muka air laut pun meninggi, cuaca tak lagi bisa dipastikan, dan bencana karena iklim makin kerap terjadi. Tanpa beradaptasi terhadap bumi yang berubah itu, kota-kota kita terancam gagal menyangga hidup warga.

Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia sebenarnya sudah menuju ke kota gagal. Pertanyaan yang menghantui warga Jakarta hari-hari ini dan warga kota-kota lain di Indonesia adalah, sudahkah aman dari banjir yang semakin kerap terjadi, skala yang makin meluas, dan air yang semakin meninggi dari tahun ke tahun.

Ini baru masalah banjir, belum lagi dengan peningkatan suhu yang juga menyebabkan ruangan menjadi semakin panas ataupun masalah-masalah kota lain seperti kemacetan, polusi udara, ataupun pencemaran air.

Terhadap masalah banjir, solusi praktis yang dipilih biasanya memilih rumah di daerah hulu, yang aman dari jangkauan banjir. Daerah resapan pun disulap menjadi hunian.

Adapun solusi praktis yang sering dipilih untuk mengatasi panas dan gerah adalah menggunakan penyejuk ruangan (AC). Cukup dengan menekan tombol on, maka suhu dalam ruangan pun menjadi sejuk.

Bukannya menjadi penyelesaian jangka panjang, berbagai solusi praktis itu justru menjadi bagian dari masalah baru. Bisa memicu pemanasan bumi lebih cepat lagi dan mempercepat kota-kota kita menjadi kota yang gagal. Tetapi, adakah ini pilihan rumah terbaik di tengah gencarnya isu pemanasan global yang menuntut pengurangan emisi buangan karbon?

Siasat adaptasi

Data dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), 2007, sektor properti menggunakan 25-40 persen pemakaian energi di dunia dan menyumbangkan emisi karbon dioksida (CO) dengan persentase yang hampir sama.

Konsumsi energi tertinggi di sektor properti terutama disumbangkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika. Warga di negara-negara empat musim tersebut membutuhkan penghangat ketika musim dingin dan pendingin pada musim panas.

Karena itu, di Eropa, sektor properti menjadi salah satu tumpuan utama dalam efisiensi energi, lebih dari seperlima konsumsi energi atau 45 juta ton CO per tahun ditargetkan akan dikurangi dari sektor bangunan mulai 2010 ini.

Di Indonesia, penggunaan energi di sektor perumahan kemungkinan tak sebesar itu. Belum ada penelitian pasti, tetapi kecenderungan peningkatan konsumsi energi dari perumahan terus membesar.

Salah satunya bisa dilihat dari tren penggunaan AC yang terus meningkat. Bahkan, untuk perkantoran bisa jadi tak ada lagi yang tak berpenyejuk udara. Padahal, AC merupakan alat elektronik yang paling banyak menghabiskan energi dalam bangunan. Rata-rata 44 persen konsumsi energi untuk bangunan tersedot untuk mengoperasikan AC.

Kita bisa menurunkan emisi karbon dengan perancangan bangunan yang ramah lingkungan. Salah satunya, yang paling sederhana adalah menggunakan penghawaan dan pencahayaan alami. Selain ramah terhadap lingkungan, perancangan rumah dengan penghawaan dan pencahayaan alami sebenarnya bisa menghemat pengeluaran karena itu artinya kita mengurangi biaya beban membayar listrik.

Untuk itu, dibutuhkan kreativitas rancangan. Salah satunya adalah dengan membuat bukaan yang lebar yang diposisikan saling berhadapan (ventilasi silang). Bukaan seperti ini menjamin terjadinya aliran udara dalam ruangan.

Menanami pekarangan rumah dengan pepohonan merupakan usaha lain yang dapat dipilih untuk menurunkan temperatur di sekitar rumah tinggal kita. Pengaturan arah hadap bangunan, yaitu tidak menghadap barat, juga bisa mengurangi tempaan matahari langsung pada siang hari yang panas.

Pemanasan bumi memang bukan sesuatu yang jauh. Tak hanya sangat dekat dampaknya, kita pun bisa berperan serta ikut mendinginkan bumi, lebih dari yang kita kira. Pilihan kita, salah satunya pilihan dalam berumah, berperan besar dalam hal ini.

Skala kota

Namun, tindakan individu ini tetap tak akan cukup jika tak diikuti dengan penataan kota yang peka dengan perubahan iklim.

Budi Prayitno, pengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Gadjah Mada mengatakan, upaya yang harus dilakukan untuk bisa mengurangi emisi karbon secara lebih efektif adalah melalui penataan kawasan atau kota. ”Untuk itu diperlukan norma, standar, pedoman, dan kriteria sebagai dasar perancangan dan sarana evaluasi kinerja ramah lingkungan dan sadar energi, serta pengawalannya secara yuridis,” katanya.

Beberapa perancangan skala kota yang bisa dilakukan, misalnya dengan menyiapkan transportasi umum yang baik dan menekan penggunaan kendaraan pribadi, menyiapkan jalur-jalur transportasi untuk kendaraan ramah lingkungan, seperti jalur sepeda, integrasi ruang hunian dan kerja sehingga memperpendek pergerakan, hingga mengelola sampah kota dengan baik, dan mengoptimalkan ruang hijau kota.

Tetapi, jangan pula atas nama ruang hijau kota, sebagai terjadi di Jakarta, kemudian dilakukan penggusuran terhadap permukiman orang miskin, sedangkan mal ataupun pusat perkantoran dibiarkan tumbuh di ruang-ruang hijau itu.

Kota-kota di dunia kini berlomba menjadi kota ramah lingkungan, misalnya, Stockholm, Swedia, yang memanfaatkan limbah dan sampah sebagai sumber energi kota. Kota yang menghidupi 1,8 juta penduduknya ini memiliki tujuh pembangkit listrik. Hanya satu yang berbahan bakar konvensional, batu bara. Sisanya menggunakan sampah dan biomassa sebagai bahan bakar.

Energi tambahan adalah dari panas yang diperoleh dari pengolahan limbah cair. Sebagian listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan ini juga digunakan untuk menggerakkan mobil dan angkutan umum. Dengan kreativitas dan inovasi yang dilakukan, Stockholm menjelma menjadi kota yang hampir lepas dari bahan bakar fosil.

Di Jerman, warga kota berlomba investasi di bidang energi bersih dengan membeli panel listrik bertenaga surya, yang di pasang di atap-atap apartemen maupun rumah mereka. Kota Amsterdam, Belanda, juga sudah mengolah sampah warga sebagai bahan bakar listrik.

Selain masih harus bergulat dengan masalah-masalah klasik seperti akses kaum miskin kota terhadap ruang, kepadatan, kemacetan, sanitasi, dan drainase kota yang buruk, kota-kota kita ke depan juga harus sudah memiliki perspektif bahwa ekologi bumi sudah berubah. Untuk Jakarta yang kini tengah menyiapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030, mestinya memasukkan parameter ini....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: