Ada sebuah desa yang tak terpetakan. Di ujung desa itu, dekat hutan tinggal seorang lelaki lanjut usia. Orang-orang desa mengenalnya sebagai sosok orang tua yang bijak. Pondoknya selalu dikunjungi orang yang membutuhkan bantuan, makanan, minuman, obat-obatan dan juga nasihat.
Seperti itulah keadaannya dari hari ke hari. Pondok tenang nan asri itu memancarkan auranya pada kehidupan desa. Hingga suatu hari ketenangan itu terusik. Teriakan lantang memecah keheningan alam.
“Ajarkan aku tentang kehidupan?
O, rupanya ada anak muda berkunjung ke pondok Pak Tua itu. Si pemuda berteriak-teriak.
“Aku adalah pengelana yang telah berjalan jauh dari ujung ke ujung buana. Telah ribuan tempat ku jelajahi dan telah ribuan jengkal ku susuri. Namun, aku tetap tak puas. Ajarkan aku tentang kehidupan.
“Begitu teriak si anak muda.
Terdengar sahutan dari dalam.
“Jika kau memintaku mengajari tentang kehidupan, maka akan kuajari engkau tentang perjalanan.”
Pak Tua keluar dengan tongkat di tangan. Ia hampiri anak muda itu dan mengajaknya berjalan beriringan. Lama mereka berjalan melintas hutan. Namun, Pak Tua belum juga mengucapkan sepatah kata. Tak ada ujaran keluar dari mulutnya.
Pak Tua itu hanya mengajak berjalan. Setiap menemui pohon besar ia menunduk, menarik nafas panjang, lalu menorehkan tanda silang dibatangnya. Begitulah yang dilakukan Pak Tua setiap menemukan pohon besar.
Matahri telah tergelincir ke Barat. Perjalanan itu tak jelas kapan akan berhenti. Si Pemuda resah. Ia tak mengerti apa maksud semua perbuatan bodoh ini. Sampai akhirnya mereka menjumpai telaga dan beristirahat di sana.
“Wahai orang tua, ajarkan aku tentang kehidupan!” Sekali lagi pemuda itu melontarkan permintaannya.
Pak Tua menatap sebentar lalu membasuh mukanya dengan air telaga.
“Anak muda, kehidupan itu layaknya sebuah perjalanan. Kenyataan akan mempertemukan kita dengan harapan dan keinginan. Kehidupan akan selalu berjalan, berputar, hingga mungkin kita akan tak paham mana ujung dan pangkal.” Kata Pak Tua memulai nasihatnya.
“namun belajar tentang kehidupan adalah juga belajar menciptakan tanda-tanda pemberhentian. Belajar untuk membuat halte-halte dalam hidup kita.
Berhententilah sejenak. Renungkanlah perjalanan yang telah kau lalui. Siapkan persimpangan-persimpangan dalam hidupmu agar dapat membuatmu kembali menemukan arah perjalan.” Tambah Pak Tua Panjang.
“Pohon-pohon tadi adalah prasasti sebagai penanda buatmu dalam berjalan. Mereka akan jadi pengingat betapa lelah kaki-kai ini telah melangkah. Mereka semua akan menjadi menjadi pengingat tentang jalan-jalan yang telah kita lalui. Pohon-pohon itu menjadi kawan karib dalam mengenang yang telah lalu. Biarkan mereka menjadi penolongmu saat kau kehilangan arah.”
Pak Tua berhenti sejenak. Ditatapnya lembut pemuda itu.
“Anak muda, cobalah berhenti beberapa saat. Atur nafasmu, tarik lebih dalam, pandang jauh ke belakang, ke arah ujung-ujung sejak yang kau lalui. Biarkan semuanya beristirahat. Sebab, sebab sekali lagi, belajar tentang kehidupan adalah juga belajar tentang menciptakan pemberhentian.
Teman, hidup memang layaknya sebuah milestone, batu penanda, penjejak, atau prasasti bagi perjalanan panjang. Benda itu akan menjadi tumpuan saat kita kehilangan arah. Dan juga petunjuk saat kita membutuhkan pegangan.
Benda itu adalah juga jeda, sela, sebuah koma dalam kalimat. Layaknya sebuah jeda, ia pun berarti waktu yang memberi kesempatan untuk merenung.
Adakah mileston dalam hidup kita? Adakah jeda, sela, dan koma yang luput kita hadirkan dalam hidup ini? Apakah hidup kita seluruhnya aktivitas berjalan tiada pernah berhenti?
Cobalah, berhenti sejenak. Beristirahatlah. Tariklah nafas, tenangkan pikiran. Biarkan semuanya menjadi lebih nyaman. Lalu, ciptakan itu sebagai milestone di perjalanan hidup kita. Menjadi petunjuk jejak-jejak kaki “amal” kita.
Cobalah , temukan milestone di riwayat perjalanan hidupmu.
Kekuatan Cinta 2: Milestone
06.10 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar