RSS

Halamannn

Aku dan Bangsaku



Asap kebakaran hutan mengepul pekat dipenjuru tanah perseda Indonesia, hitam bergulung-gulung menghiasi angkasa, gelap gulita menutupi sinar matahari. Nafas-nafas pendamba kebebasanpun menghirup udara pagi yang menyasakkan dada.
Tanah-tanah penopang kehidupan terkoyak di sodok-sodok kebencian sang alam. Itu sebab bumi gemar batuk dan menggeliat. Air hujan tumpah kemuka buana tumpah dengan dahsyat menyapu ketenangan makhluk-makhluk yang sedang berjoged ria.
Inilah kenyataan yang ada dibumi persada yang kian digoyang-goyang oleh gelombang keterpurukan. Hingga anak manusia tidak mampu lagi menyanyikan lagu keceriaan. Mereka lebih sering disengat-sengat bisa-bisa kesengsaraan, dibelenggu rantai-rantai pertengkaran, dan dikejar-kejar rasa takut yang semakin akut.
Burung- buurung pagi enggan menghiasi suasana ceria, wajah muramlah yang semakin. Para petani merintih memohon hasil kerja kerasnya diperhatikan, juga kemalangan anak jalanan yang menyerukan keadilan. Barang-barang kebutuhan harganya meninggi. Sedangkan mereka yang bertopeng nama rakyat sibuk mendendangkan suara perut dan alunan yang mereka lantunkan selalu mengusik kedamaian.
“Bapak-bapak yang di atas sana, ingatlah penderitaan kami! Kami nyaris tak dapat meneteskan air mata lagi”, seru rakyat kecil.
“Lebih baik kita mendirikan Negara sendiri dari pada hidup bertumpuk hutang terus,” sebagian orang terdidik mencari dukungan.
Pilu, benar – benar memilukan. Tanpak juga di daerah – daerah tempat rakyat transmigrasi telah dibanjiri darah. Para pengungsi berupaya membungkan suara perut mereka yang keroncongan, karena demi menyelamatkan diri dari luka bentrok antar saudara. Ya, bunuh membunuh antar sesama ibarat nyawa seharga buah tomat yang semakin anjlok harganya. Masalah sepele masalah nyawa.
“ Dimanakah matahari kedamaian dan udara persarudaraan bersinar dan mengalir?” suara hati sang fakir betanya kepada kegelapan.
“Panah – panah keadilan dan persatuan harus terus dilepaskan dari busurnya, “Pendapatan yang disuarakan oleh kaum terdidik.
“Oh Tuhan berilah ketabahan di hati kami untuk menghadapi cobaan ini. Jangan sia – siakan doa kamiyang mengharapkan derita bangsa segera terobati”. Ratapan doa para ulama dan tokoh agama bersama kaum dlu’afa’/ menggema di setiap alun – alun kota.
Sedih, sungguh menyedihkan nasib bangsa ini. Bangsa yang berharta karun, namun dibelenggu kemiskinan. Bangsa yang merdeka, namun tertindas . bangsa yang berdaulat, namun dicabik – cabik perpecahan. Nama apakah yang pantas di pakai untuk memanggil bangsa yang muram ini? Mungkin anak – anak gelandangan lebih sering menyebut bangsa Indonesia “ Aduh, negaraku dah !”
Si bocah jalanan menjerit – jerit karena tidak bisa melihat indahnya suasana. Akankah ia sanggup mempertahankan hidupnya? Janganlah ia diberi makan berkumul derita dan payung kecemasan! Matanya Yang gelap menelanjangi suasana karena tertutup awan kebobrokan para petinggi. Moral para petinggi yang dibalut dengan sapu tangan kemapanan atau serpihan kafan kepentingan pribadi, tidak semuanya, tapi melaut.
Di bawah Mahkota Kegelapan berjejer – jejer corong corong keangkaramurkaan menyemburkan bisikan – bisikan tipu daya. Para pahlawan tanpa jasa meronta – ronta di atas tangga ketidakberdayaan dan menyeru,”tolong perhatikan nasib kami!”
Di balik kertas buah pena kemandulan berita rakyat melengkapi kepicikan para pejabat. Para penulisnya mengupas kulit tipis yang memballut borok birokrasi.
Keranda mayat diusung ribuan rakyat. Ya, sekuntum tragedi jatuh bangunnya suatu bangsa.
“Tuhan berilah kami secercah cahaya kedamaian bagi rakyat Indonesia yang nyaris tidak dapat berjalan dipatuk ular – ular berbisa dan dicakar – cakar burung – burung pemakan bangkai. Hamba mengadu kepadamu,”seorang bijak berdoa.
“Dimana langkah perbaikan untuk tuk manapak masa depan bersumbunyi?” hati sang pesimis bergumam.
Sesosok manusia yang memakai mahkota kegelapan tersenyum sinis kepada tukang batu yang sedang membangun sebuah kuil suci untuk menampung harapan-harapan yang tercecer di muka buana. Sinis, mengapa dia sinis?
Seorang kakek berkata pada cucu-cucunya, “Tak ada perubahan yang mengalirkan mata air dewa, kecuali bantai saja manusia-manusia yang gemar menyimpulkan senyum sinis kepada para pekerja keras.”
Di dalam hati si miskin menjerit, “Sampai kapankah kabut pekat ini menyelimuti bumi pertiwi? Oh, tangan-tangan kolot yang dihiasi emas dan perak, ingatlah kejujuran dunia, akan segera menghancurkan kalian!”
Di lorong-lorong sepanjang perkotaan banyak orang yang berkata, “Keadaan sudah tidak memiliki keputusan. Cerita apalagi yang akn digoreskan dalam lembaran sejarah umat manusia di alam Indonesia ini?”
Benar sekali. Sungguh banyak rakyat yang menjerit-jerit, meronta-ronta, tertatih-tatih, ternanti-nanti dan jatuh dalam tangis tanpa air mata. Semua, ya segalanya telah memercikkan kepiluan, kesedihan, penderitaan, kegundahan, kemiskinan, kedengkian, tipu daya, kekacauan, banjir darah, makian dan pesona kotor yang serupa dengan sihir. Sedikit yang tidak.
Tragedi demi insiden yang mengharu lesu, bukan batu karang yang tiada brgeming dihantam gelombang, tapi sampah-sampah yang beterbangan tak berarah disaput badai telah mengukir catatan panjang alam Indonesia.
Aku, sang pengemban cinta kasih sesame. Manusia kecil di alam keterasingan, sang fakir bergaun kebodohan. Salah satu dari mereka yang meratapi penderitaan nasib bangsa. Ya, akulah sang penyair kesiangan yang memandangi peristiwa kelabu dengan luka hati yang memerah dan bernanah.
Kalau dalam hati, “Selaput dara sang penguasa telah terbobol oleh campur tangan oleh orang asing. Kemeja putih wakil-wakilku telah ternodai oleh kotoran kepentingan yang bernuansa kebijaksanaan pribadi. Sapu tangan ketidakpastian menyeka katerpurukan.”
“Apa-apaan ini? Sungai-sungai mengalirkan air mata dan darah merah, kebun-kebun ditanami benih-benih perpecahan, hutan-hutan dibakar api keserakahan, rawa-rawa dihiasi bakau-bakau kebohongan, pabrik-pabrik memproduksi tipu daya, sekolah-sekolah mengajarkan pemberontakan, toko-toko menjual kehormatan, pasar-pasar menjajakan keluh kesah, pesantren-pesantren mengumpulkan pengangguran, tempat-tempat ibadah mendakwahkan kesabaran tanpa usaha, alun-alun menyuarakan kekerasan, dan aku memasung diri dalam kesepian.”
“Aku hanya bisa mendengar, menyaksikan, dan meratapi. Tidak lebih. Atau sulit dimengerti.”
Mahkota kegelapan. Mungkin itulah perhiasan termahal yang dimiliki negara Indonesia. Mahal tak berujung dan membabi buta. Buta mata, buta hati. Indonesia yang bertubuh besar, tapi kecil hatinya. Bangsa yang berkafan makmur, tapi miskin rakyatnya. Ya, kemiskinan yang bertubi-tubi siap menerjang manusia-manusianya.
Mereka, sahabat-sahabatku yang berteduh dipanti asuhan dan panti jompo, merengek kekurangan. Dan mereka saudara-saudaraku yang ada di bawah kolong jembatan dan di rumah-rumah kesengsaraan membisu lesu, dan masih banyak lagi dan melimpah ruah.
Taman-taman yang dulunya indah, kini berlapis seram, kuil-kuil yang dulunya suci, kini penuh dengan noda, lading-ladang yang dulunya subur, kini gersang dan tandus. Lautan kasih sayang pun rasanya ikut-ikutan mongering dan sungai cinta sesame kerontang. Tidak ada kemarau, tapi banyak oarng kehausan. Panen melimpah tapi banyak orang kelaparan. Sampai binatang-binatang jalang mengobral janji dan bercakar kepicikan? Tanyakan saja kepada nenek moyang yang mewariskan penderitaan!
Terdengar juga dibalik rintihan ranting-ranting dedaunan, di permukaan ilalang, di lorong-lorong perkotaan, di puncak pengunungan, di ujung pedesaan, di lereng-lereng jurang, di manapun saja; banyak tangisan, ratapan, jeritan yang membisingkan telinga, tetapi tidak dihiraukan.
Hati-hati yang pedih bersuara, “Lelambaian daun-daun yang menguning kian mengganggu pandangan, rumput-rumput mengering tanpa siraman, matahari enggan tersenyum, rembulan beraut muram, bintang-bintang memicingkan kerlipan, air-air terasa asin, madu sudah tidak manis lagi, onak-onak semakin tajam, tak ada mutiara,permata dan intan yang menyinarkan kilau cahaya menjadi gelap, suram dan seramlah yang ada. Anak-anak telanjang dan kelaparan. Yang atas perak menjadi emas dan bawah perunggu menjadi tembaga. Tidak merata. Semua berlawanan. Akar-akar iman tercerabut, dan pohon-pohon kebersamaan tumpang. Kebesaran, kemuliaan, kedaulatan, kesatuan dan cita-cita suatu bangsa di cabik-cabik dan di robek-robek oleh nafsu. Perahu bangsa berlayar di atas lautan api, diselimuti kabut pekat, diiringi gelombang dasyat, diterpa badai taufan, dan dibayang-bayangi mendung kelam. Oh tuhan, ampuhanilah dosa-dosa hambamu yang terdahulu dan yang sedang menyengsarakan kami!”
Aku yang membisu di antara kegulitaan goa dan rintihan hati yang melara, mereka yang meronta-ronta di antara tebing-tebing kasar dan panas terik mentari, dan kita yang terkapar tiada daya di antara duri-duri dan bara api, telah terhimpit sakit yang tiada obatnya.
Aku terusik olehnya, mereka tergoda karenanya dan kita terpedaya dibuatnya. Malu bercampur marah, sedih bercampur dendam, dan derita bercampur makian. Sampai kapan mahkota kegelapan mengkerangkeng bumi persada ini, jika bom-bom kedengkian diledakkan, tombak-tombak keangkaramurkaan dilemparkan, dan lilin-lilin adu domba disulutkan? Hancur, terluka dan luluhlah yang akan menghiasi dan mengiringi kelesuan sebuah bangsa.
“Bebas, semoga Indonesia bebas lepas dari sengatan bisa beracun, gempa bertubi-tubi, hantaman badai, gulungan gelombang, dan cambukan kilat halilintar keterpurukan,” doa yang terperosok di hati yang tawakal.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: